Dunia yang Kuingat

                Aku ingat, aku hanya bisa menangis saat pertama kali ada tamu berkunjung ke rumah. Waktu itu, sekitar enam belas tahun yang lalu, saat aku menjejalkan kaki ke tengah-tengah kubangan orang yang disebut masyarakat untuk pertama kalinya, tubuhku bergetar. Sepanjang masa hidup yang sudah kulalui saat itu, dunia yang kutahu hanya terdiri dari ayah dan ibu. Namaku Memora—dari kata memori yang berkaitan dengan ingatan serta masa lampau, dan saat itu aku masih berumur tiga tahun.
                Sebagian orang tidak percaya ketika kukatakan bahwa aku punya ingatan masa kecil yang kuat. Mereka memaksaku untuk mengakui bahwa aku hanya sedang tidak punya topik pembicaraan. Kadang, berujung pada saran-saran konyol yang dituduh bisa membuatku kembali normal.  “Ah, Mor! Makan, gih! Lo aneh kalau lagi lapar.”
                “Ih, gue memang masih ingat sama kejadian-kejadian masa kecil gue, khususnya pas gue masih bocah! Kalau mau, tanya orang tua gue, deh!”
                Sampai saat ini temanku yang paling geger dengan pernyataan konyolku masih sangat berharap untuk bisa main ke rumah dan menanyakan kebenarannya kepada ibu dan bapak. Sayangnya dia hanya manusia Depok yang terisolasi oleh ketidak-mampuannya memanfaatkan kendaraan umum. Terlalu takut untuk main jauh-jauh tanpa ojek pribadinya.
                Sebut saja namanya Carol, karena kalau kita memakai Retta—nama aslinya, nanti dia ke-geer-an. Selain itu aku agak sebal, dia masih belum percaya selama ini aku menceritakan kisah masa kecilku yang sebenar-benarnya—bukan rayuan gombal, karangan palsu apalagi karangan bunga. Sudah hampir 3 tahun kami berteman, terhitung dari masa-masa jadi mahasiswa baru (maba) yang apes tiga tahun silam hingga sekarang. Tapi dia memperlakukanku layaknya seorang asing, bahkan musuh! Jadi sebaiknya kita tidak usah membahas Carol dengan nama aslinya. Aku tidak mau dia dapat royalti kalau kesaksianku ini dimuat di koran-koran.
                Saat ini dia sedang mengikuti pemilihan Mahasiswa (ber)Prestasi, masih di tahap penyisihan jurusan Sastra Cina. Kelak, jika dia berhasil mengalahkan teman-teman di jurusan, dia akan melewati penyisihan untuk menjadi wakil Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di pemilihan tingkat selanjutnya. Baiklah, sebenarnya informasi tadi kurang penting. Hanya saja, mungkin karena dia sudah ditakdirkan menjadi calon mahasiswa berprestasi se- Universitas Indonesia, makanya dia selalu logis berlebihan dalam menanggapi kenyataan apapun. Siapa tahu?
                Ngomong-ngomong tentang memanfaatkan kendaraan umum, aku pilih angkot! Ojek mahal, apalagi taksi – alasan yang cukup logis, kan? Saat masih maba dulu, aku dan Carol sering pulang bersama dengan kendaraan angkot. Oh ya, ini penting: akhirnya Carol tahu mekanisme jadi penumpang angkot setelah ribuan hari membuat ayahnya jadi ojek antar-jemput pribadi.
                Harusnya dia ber-terimakasih atas motivasi dan bimbingan ‘naik angkot’ yang kuberikan padanya, bukannya memberi balasan kurang baik dengan menaikkan alis saat aku bercerita tentang pengalamanku dulu. “Beneran, deh! Fanta yang dibeli bapak itu pasti oleh-oleh untuk anaknya. Soalnya, dulu saat gue SD, nyokap selalu bawa Fanta, di­-taro dalam plastik kiloan dan diikat, sama dengan Fanta si bapak itu.” Sudah khatam kan? Carol itu orangnya logis aliran sarkastik, sudah bisa ditebak apa reaksi selanjutnya. Bukannya menoleh keluar jendela angkot dan melihat sosok bapak-bapak yang sedang kubicarakan, dia malah geleng kepala. Aku pun mencoba menjelaskan latar belakang cerita tadi, supaya dia tidak menganggapku gila.
                “Jadi, dulu bokap nyokap gue buka tambal ban yang jualan minuman dingin juga. Setiap gue pulang sekolah, mereka udah berangkat ke tambal ban. Yang ada di rumah cuma tulang—(paman dalam adat dan bahasa Batak)—gue yang galak. Setelah makan siang, gue dan adik-adik langsung disuruh tidur siang! Nightmare banget, kan? Untungnya, jam satu dia berangkat kuliah. Jadi kami nggak perlu lama-lama berpura-pura tidur. Hahaha.” Tatapan Carol saat itu makin tajam, aku nggak bohong, aku ingat betul reaksinya: hanya mengandung sinisme. 
                “Setelah tulang gue ngunci pintu rumah dari luar dan bunyi langkah kakinya udah lenyap, pesta dimulai! Gue sama adik-adik gue langsung nyalain TV, nonton tayangan Hachi. Tapi kalau dari luar rumah mulai kedengaran bunyi langkah kaki lagi, kami bertiga pun balik ke kamar dan pura-pura tidur. Pas nyokap sampe rumah, dia langsung kasihan ngeliat kami terbangun dari tidur lalu dengan sumringahnya bertanya.. ‘mama bawa apa, kami boleh main nggak, kenapa kami dikurung’. Makanya, tiap pulang ke rumah, nyokap selalu bawa Fanta. Hahaha!” Carol tidak ikut tertawa, bahkan tidak bergeming.
                “Lo tahu Hachi si lebah yang nggak punya mama itu, kan?” Gantian aku yang menganggap dia aneh, nggak ada seorang pun di Indonesia yang nggak tahu filem Hachi. “Serius deh, Mor. Gue sebaiknya jaga jarak sama lo, habisnya lo aneh! Bagaimana mungkin lo ingat kejadian masa kecil lo se-detail itu. Yakin tuh, tulang lo kuliah jam satu?  Ngarang lo!
                Naik pitam? Jelas! Bahkan saat itu aku mulai berpikir, mumpung masih maba, ada baiknya aku mencari teman lain dan menjauh dari Carol selamanya. “Eh, kok lo menuding sembarangan? Gue nggak ngarang, tulang gue memang berangkat kuliah jam 1 siang—ke BSI!”
                Carol menangkis pembelaanku yang tegas dan lugas itu dengan perkataan yang menyakitkan, “Oh ya? Berarti malu dong, sama diri lo pas masih kecil, tukang bohong; tukang pura-pura tidur!”
                Apa kali ini aku naik pitam lagi? Nggak. Yang dia bilang memang menyakitkan, tapi itulah kebenarannya. Aku mengalah dengan memasang wajah agak memelas dan mengakui pernyataannya benar. “Yang lebih aneh, Mor.. lo dengan mudahnya menebak bahwa bapak tadi membeli Fanta buat anaknya yang dikurung sama pamannya!” Darahku mendidih dan melonjak ke ubun-ubun, aku sudah mengalah lho, yang benar aja!
                “Namanya juga menebak, bisa benar bisa salah! Lo aja nggak liat tampang bapak tadi, dari mana lo tahu kalo dia nggak punya anak yang dikurung sama pamannya?” Carol pun menoleh ke belakang tubuhnya, mencari sosok bapak tadi dari jendela angkot. “Telat!”
                Bukan hanya sekali hal serupa terjadi. Beberapa hari setelah dia menerima tawaran para dosen untuk ikut pemilihan Mapres, kami pergi ke kantin perpustakaan dan berdiskusi di sana. Saat topik pembicaraan mengenai Mapres tuntas, suasana jadi hening. Karena tidak suka dengan suasana hening saat bersama dengan seseorang, aku terdesak untuk mencari-cari bahan pembicaraan.
                Ada pemandangan menarik.
                Seorang anak kecil yang menangis di samping kaki ibunya saat digodai oleh orang-orang yang kelihatan seumuran dengan si ibu, segera menarik perhatianku. Anak itu pasti tidak biasa dengan orang asing, perasaan jadi tidak nyaman dan dunia se-akan tidak aman lagi.  Aku ingat perasaan itu, perasaan sama yang kumiliki saat berumur 3 tahun dulu!
                Ibu muda itu menyeka air mata anaknya dan terlihat sedang meyakinkan anaknya bahwa orang-orang itu baik. “Carol, lihat anak itu deh! Gue jadi ingat masa kecil dulu. Saat pertama melihat orang asing, gue syok, nggak percaya kalau di dunia ini ada orang lain selain bokap nyokap!”
                Kami sudah berteman lama. Jadi, Carol sudah tidak terlalu sarkas sekarang. “Serius? Dulu lo mengira dunia ini cuma milik keluarga lo doang? Aneh!” Aku tersinggung, “Ah! Lo nggak ingat masa kecil lo, sih! Siapa tahu dulu lo juga berpikiran sama, kalau di dunia ini cuma ada bokap nyokap lo doang!” Carol mulai tersenyum kecut, “Kalau gue memang berpikir seperti itu, gue nggak akan syok hanya karena menerima kenyataan bahwa dunia ini penuh orang asing. Penuh sandiwara..” Aku hanya tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuannya. “Idih! Lo kira, dulu setelah lahir, diajarin jalan, diajarin ngomong, lo langsung punya pemikiran dewasa.”
                 Ini pernyataannya yang paling aneh, “Gue dari kecil sudah pemberani, Mor! Dari lahir, langsung bijaksana dan berpikiran cerdas.” Bagaimana, aneh kan? “Jelas-jelas nggak mungkin. Itu buktinya, anak itu nangis cuma karena disapa teman kuliah ibunya. Kesimpulannya, sudah naturnya kalau seorang anak manusia perlu beradaptasi sebelum akhirnya menjadi makhluk sosial, sama seperti anak kecil itu, gue kecil dulu dan nggak terkecuali lo!”
                Saat aku melihat anak kecil itu sudah tidak ada di tempat aku melihatnya sebelumnya, muncul aura aneh dari arah Carol. Itu karena dia mulai menganggap serius pembicaraan kami, kepalanya jadi mengeluarkan asap. “Mor, lo kapan sih berhenti ngomongin hal-hal non-sense. Lo nggak bisa, setelah lihat sekilas langsung bikin teori. Siapa tahu kasus gue beda, atau lo doang yang masa kecilnya aneh. Buktinya, sekarang gue ikut Mapres. Itu karena gue dari kecil pandai bersosialisasi dan cerdas!”
                Ketika mendengar argumen Carol yang pedasnya melebihi cabe-cabean itu, aku tertunduk lesu dan nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Jangan risau, kami nggak berhenti berteman kok. Justru, persahabatan yang kami jalin ternyata membuahkan hasil. Dari mana aku bisa tahu?
                 Untuk pertama kalinya, Carol jadi melunak. Sepertinya dia sadar sudah keterlaluan – harusnya sejak dulu, sih—dan bahkan akhirnya mengatakan sesuatu yang tidak pernah kusangka sebelumnya. “Sebenarnya, Mor. Perkataan lo mungkin ada benarnya juga. Bisa jadi, semua orang di masa kecilnya nggak pernah tahu bahwa dunia ini isinya nggak cuma anggota keluarga yang ada di rumah. Tapi, seiring berjalannya waktu, setelah mulai terbiasa dengan lingkungan masyarakat, hal itu terlupakan.”
                “Sejujurnya, Mor. Gue takjub dan kagum sama kemampuan lo mengingat hal-hal itu. Gue bahkan sempat iri dan curiga, jangan-jangan lo jenius!” Di akhir perkataannya itu, dia memberikan senyum yang lengkap dengan tatapan mata penuh penyesalan. Perlahan tapi pasti, semangatku meningkat lagi. “Berarti gue nggak aneh kan?” Pertanyaan retorika, jawabannya sudah jelas: bahwa aku sebenarnya tidak aneh.
                “Aneh, lah!”
               Kenapa? Oh my God, mungkin Carol memang nggak akan pernah berubah. Dasar sarkas! Kalau dia bermanis-manis, perlu dicurigai itu bukan dia! “Lo bilang anak kecil tadi nangis karena teman kuliah ibunya. Mana ada mahasiswa yang mau  bawa anaknya ke kampus!”

                Naik pitam? Bukan main, naik pitam plus geram! “Makanya, lihat dulu sebelum bikin teori! Huh!” Sebelum dia menoleh ke kanan kirinya untuk menemukan sosok anak kecil tadi, aku menyelak, “Telat!”

No comments:

Tinggalkan jejak di rumah saya! ^_^

Powered by Blogger.