Berperang Sebelum Pagi



Matahari akan menyingkapkan sinarnya dari ufuk timur sekitar empat lima jam ke depan, karena jarum jam menunjukkan saat itu masih pukul satu pagi.

Kamar kosku begitu kecil, sehingga seluruh benda yang ada di dalamnya terjangkau oleh setiap sudut gerakan mataku yang tetiba saja terbuka. Aku terbujur dalam sebuah posisi yang disarankan oleh seorang nabi, tembok yang kubelakangi persis menopang punggungku yang kakunya kian lama kian menjadi. Jarum detik jam terus bergerak, sedangkan aku tidak. Menit pertama, otak ku ternganga. Bingung menerka-nerka, ada apa gerangan dengan persendian dan kerangka.

Cukup sulit, berkali-kali coba kucerna apa yang tengah menghimpit. Dada terasa sesak, makin lama makin memancing hati untuk terisak. Ada sesuatu menekan tubuhku dari atas, seperti ada orang yang menjadikanku sebuah matras.

Menit pertama berlalu. Segera darahku bertalu-talu saat menyadari aku sudah terjaga dari tidur nyenyakku. Tapi mengapa tubuh ini membujur kaku, bergerak sejarak spasi di komputer pun tak mampu. Napas ku terkesiap, ketika terdengar ada suara langkah kaki di luar kamar kos. Hanya bisa berpikiran positif; aku sedang mengidap penyakit yang sekonyong-konyong membebat seluruh nadi dan di luar kamar masih terjaga seorang pribadi. Meskipun ini jam satu, aku percaya itu orang bukan hantu. “TOLONG!” Seharusnya terdengar seperti suara serigala melolong. Anehnya, yang keluar hanya hembusan napas yang hampa, mulutku tak bisa dikendalikan layaknya hari-hari biasa.

Makin lama, dunia makin terasa bagaikan neraka. Tak satupun nada; yang sumbang pun tidak, ataupun bisikan yang mau menjelma dari rongga kerongkongan. Glotis ini mengalami gangguan apa, ya Tuhan, hingga tak lagi mampu menghasilkan sebentuk tangis memohon pertolongan. Otak ku meronta, minta direspon oleh mulut sesuai perintah.

Suara langkah kaki itu telah lenyap.“HUAAAAW” Sebersit suara mendengking, mungkin bukan “h-u-a-w” karena itu terkesan seperti suara orang sedang terpana, sedang yang ini membuat merana. Seperti suara setan tengah bergunjing, bunyi itu kencang melengking masuk ke telinga dan rongga dada hingga menembus dinding.Tekan, terus menekan. Badanku diinjak-injak, oleh kaki sebesar tiang yang tak nampak. Ada apa ini Tuhan, ada apa? Tiba-tiba, saat itu juga napasku berhenti. Sesak menjadi-jadi. Hidupku tak lebih dari seekor kerbau yang dicocok hidungnya kemudian diberi racun dan perlahan mati. Rasa frustasi menyelimuti. Seperti apa pun kucoba, semua usaha hanya menggerus tenaga, juga hati. Lemah daya dan ingin mati.

Adakah seseorang akan muncul, membuka pintu kamarku dan segera memboyongku ke rumah sakit sebelum aku berakhir di rumah duka? Apa lagi yang bisa kulakukan, aku masih saja diam tanpa pergerakan. Oh iya, Tuhan ada di sini bukan?

Aku berdoa dalam hati, mengucapkan Doa Bapa Kami.

Dengan khusyuknya, kunikmati tiap lantunan kata yang kupanjatkan dengan hati. Alangkah lega jika aku mati dalam syair doa yang selalu kuanggap hanyalah bagian dari seremoni ini.

Tidak seketika itu juga si penyiksa pergi— mungkin karena segala sesuatu butuh waktu dan rencana, mungkin makhluk "entah apa" itu masih berpangku tangan menikmati lagu doaku, dan tidak terburu-buru bersiap memakai sepatu. Tapi pada akhirnya hal itu berlalu, badanku mulai terbebas dari kaku. Jemari kaki pelan bergerak merayu. Terdengar lagi langkah kaki di depan pintu kamar kosku, berderap menjauh kemudian lenyap sebelum terbitnya matahari.

1 comment:

Tinggalkan jejak di rumah saya! ^_^

Powered by Blogger.