Sepuluh Menit
Siang itu dunia seperti habis diguyur kuah bakso, panasnya
sampaikan badan ikut-ikutan berkuah. Menuntut ilmu di tempat yang luasnya
berhektar-hektar tak cukup membuatnya merasa bersyukur, malah seringkali ia
jadi takabur. Membayangkan seandainya pengelola kampus cukup pandai sepertinya,
tebaknya: pasti tidak akan ada mahasiswa yang harus menderita hanya untuk
pergi ke perpustakaan!
Ia menatap tajam setiap
pejalan kaki yang tampak begitu ceria mengayuh kaki mereka berkilo-meter
jaraknya, padahal hari begitu panas menggigit. Tebaknya lagi; pasti
mahasiswa baru, baru lihat kampus besar saja norak!
Di saat ia hampir
gila dengan dunianya sendiri, udara sejuk sekonyong-konyong menerpa tubuhnya
yang nyaris kering. Dalam lima menit berjalan kaki, ia sudah sampai di
perpustakaan kampus yang selalu sepi tiap libur semester.
Baru saja ia akan
tersenyum lega, tiba-tiba ia harus menghadapi kekonyolan hari yang lain. Lift
yang ia nantikan mati. Tidak bisa beroperasi sama sekali. Dengan perasaan
dongkol yang menggebu-gebu, dihitungnya tiap anak tangga yang ia injak tanpa
perasaan ikhlas. Ini kampus pelit amat sama listrik, mentang-mentang libur semester!
Empat puluh anak tangga, astaga!
Monolognya dengan diri sendiri tidak berhenti sampai di kursi.
Setelah menemukan tempat duduk yang nyaman dan meja yang terletak tepat di
bawah pendingin ruangan, ia masih harus berkutat dengan laptopnya yang ogah-ogahan menyala, jaringan internet yang tak kunjung nyangkut, dan
lain-lain. Semua orang yang juga duduk di ruang diskusi perpustakaan itu
serta-merta dianggapnya sebagai kemalangan; ada yang ketawa-ketawa saat
mengakses Youtube, bermesraan, bahkan makan-makan! Edan! Melihat aktivitas
mereka semua, dia ingin meledak. Belum lagi, jaringan internet super lelet
masih bertingkah seperti orang Indonesia: ngaret!
***
Hari ini awan di
langit kampus Universitas Indonesia sangat indah. Kampus itu hijau dan bersih,
setiap gedung berpisah sisi. Ruang terbuka dimana-mana, tidak sulit bagi
mahasiswa yang berkuliah di sana untuk menikmati pemandangan alam yang apik
milik Indonesia.
Selain cuacanya
begitu cerah, orang-orang yang ditemuinya pun begitu ramah-ramah.
Konferensi budaya
yang diikutinya juga tidak mengecewakan. Di pekan keduanya ini, ia mendapat
begitu banyak pelajaran. Seusai acara konferensi, ia pun diajak teman barunya
ke ruang diskusi. Temannya itu orang Indonesia, seorang lansia. Ingin membantu
mempersiapkan presentasi, katanya.
“Zhengdan, tolong
kamu tunggu di sini!” kata orang tua itu padanya, Mr. Heru kalau tidak keliru.
“Ah, ya. Ya! Saya tunggu..” jawabnya agak canggung, bahasa Indonesia yang
dipelajarinya dua tahun belakangan masih belum rampung.
Zhengdan merasa
terkesima melihat ruang diskusi tersebut; ada yang mengakses hiburan, bersenda-gurau,
berbagi makanan dengan teman. Ruangan yang nyaman itu semakin terlihat nyaman,
suasananya teduh dan aman. Berbeda dengan ruang diskusi perpustakaan negara
asalnya, masing-masing orang sibuk dengan dunianya. Datang membuka buku,
beranjak pergipun bertemankan buku. Sedikitpun tidak terlihat sebaik
pemandangan di depan matanya sekarang.
Belum lama ia
menelisik tiap sudut ruangan, matanya menangkap sebuah pemandangan. Tak asing.
Wajahnya tertekuk, mulutnya samar-sama merutuk. Benar-benar hal yang sering ia
temui di lingkungan kampus negara asalnya. Hanya saja yang ini agak beda;
mahasiswi itu memencet-mencet hidungnya yang kembang kempis tiap kali melihat
ke layar laptop. Zhengdan merasa geli melihat tingkah aneh tersebut. Ia
tertarik untuk berkenalan dengan orang itu, tapi tidak yakin apakah ia harus
menyapa dalam bahasa Indonesia.
“Hello!”
Zhengdan cukup
kuatir kalau-kalau ia hanya mengganggu. Rasanya ingin sekali berbalik badan,
tapi terlanjur. “Halo, apa kabar?” ucapnya lagi dengan bahasa Indonesia yang
mantap. Senyumnya belum bisa dikendalikan, masih terkekeh mengingat ekspresi
lucu orang yang ada di hadapannya itu.
“ Oh, iya.. halo!
” jawab mahasiswi itu setengah kaget.
“ Kenapa? ”
tiba-tiba saja Zhengdan mengeluarkan pertanyaan inti, lupa untuk berbasa-basi.
“ Kenapa apanya,
ya? ” tanya orang itu lagi, membuat Zhengdan terkesiap. Ia benar-benar lupa
untuk memberi pembukaan yang sopan kepada lawan bicara.
“Tunggu!” Tanpa
pikir panjang, ia membuka kamus elektronik di ponselnya dan mencoba
menerjemahkan, ‘Sorry for bothering you, but ..’ – “ boleh saya bantu
kamu? ”
Mahasiswi itu mengangkat
salah satu alisnya, tanda tidak mengerti. “Apa ada masalah?” Zhengdan mencoba
memperbaiki kalimatnya sekali lagi dan akhirnya wanita itu berhenti bergeming.
“Nggak ada masalah apa-apa kok!” ujarnya. Mendengar jawaban itu, Zhengdan cukup
paham; mahasiswi itu tidak ingin diganggu. Ia pun memilih segera berlalu.
“Eh, sebenarnya,
saya lagi butuh jaringan internet, tapi koneksi
internet di sini lambat banget.” jelas wanita itu tiba-tiba dengan pundak
merosot.
Zhengdan dapat
melihat, ketegangan di wajah polos wanita itu perlahan hilang. Betul-betul
orang Indonesia, tidak suka meninggalkan kesan tak ramah. Ia pun menyeringai
tertawa, tak heran kalau gadis ini sebegitu kalut. Jaringan internet, ya
— pikirnya.
Setelah
merogoh-rogoh saku di sisi-sisi tas ranselnya, Zhengdan mengeluarkan sebuah
alat pemancar jaringan internet miliknya. “Ini. Ini bisa akses internet dengan
cepat.”
Mahasiswi itu
seketika menjadi ceria, matanya nanar bahagia, senyumnya juga berbinar ria.
“Wah! Bagaimana cara pakainya?”
Zhengdan pun
menjelaskan cara pakai benda tersebut. Ia juga membantu gadis itu sampai
berhasil mengakses situs internet yang dituju; situs beasiswa kuliah. “Terima
kasih! Ngomong-ngomong, nama saya Nirina. Nama anda?”
“Tidak usah pakai
anda. Juga, tidak usah pakai tuan!” ucap Zhengdan mengundang tawa Nirina. “Nama
saya Zhengdan.”
“ Oke, Zhengdan.
Kamu peranakan Tionghoa?” tanya Nirina antusias.
“ Mm.. ya!
Tionghoa.” jawab Zhengdan seadanya, tanpa benar-benar mengerti pertanyaan
Nirina sebelumnya. “ Kamu dari suku ? ” gantian Zhengdan yang bertanya.
“Eh, tunggu.”
tiba-tiba Nirina menyelak. “ Kamu peranakan atau asli Tionghoa?”
“ Maksud kamu?”
tanya Zhengdan sambil menyeringai tertawa.
“ Are you from
China?” ujar Nirina mengulang pertanyaan semula dalam bahasa Inggris.
“ Oh, saya dari Taiwan!”
Mendengar jawaban
polos Zhengdan, Nirina sontak tertawa terpingkal-pingkal. “ Kamu mengira saya
orang Indonesia?” Nirina terpaksa menjawab dengan lambaian tangan karena masih
sibuk tertawa. Zhengdan pun jadi ikut
terbawa arus tawa Nirina.
***
Nirina merasa haru
pada hari itu, tiba-tiba saja ada malaikat tampan membantu. Seandainya tadi
tidak ada Zhengdan, pikirnya. Sambil berjalan berlalu, ia membawa
berkas-berkas yang sudah berhasil dikerjakannya di perpustakaan tadi. Berkat
bantuan Wi-Fi dari Zhengdan— kenalan asingnya itu, semua berkas-berkas untuk
mengajukan beasiswa berhasil diakses bahkan hingga naik cetak.
Matahari masih
tinggi, bisa dibilang masih cukup menyengat dan menyayat hati. Awalnya, Nirina masih
tidak terima kalau kulitnya akan hangus dipanggang kedua kali. Selain itu, sifat
panas belum berubah; masih mengundang gerah. Kesegaran aroma tubuh jadi
terancam akibat kebanjiran keringat. Namun kini Nirina tergelitik untuk
mengganti cara pandangnya, berkat sepuluh menit berbincang-bincang dengan
Zhengan, kawan barunya. Dan lagipula, tubuhnya bisa diajak kerja sama; sama sekali
tidak mengeluarkan keringat dan tetap menebar aroma.
Bicara aroma,
Nirina kembali melayang mengingat aroma tubuh Zhengdan saat membantunya
mengakses internet di perpustakaan tadi. Zhengdan begitu dekat, berada tepat di
sampingnya mengutak-atik pengaturan laptop. Tiba-tiba ia merasa geli sendiri,
mengingat kejadian tadi. Bukannya memperhatikan cara Zhendan mengoperasikan
peranti, ia malah asyik berfantasi. Yang ada di kepalanya malah buah stroberi
dicampur gandum dan bunga-bunga yang wangi. Sungguh, tidak terbayang di
kepalanya, jenis parfum apa yang dipakai pria Taiwan itu.
Berkas-berkas
pengajuan beasiswa Nirina akhirnya berhasil diserahkan kepada pihak pengelola
kampus di fakultasnya sebelum jam kantor usai. Sembari menyerahkan
berkas-berkasnya tersebut, ia teringat ucapan Zhengdan sebelum ia meninggalkan
ruangan diskusi, “Selamat berhasil meraih beasiswa!”. Ia jadi teringat juga,
seketika itu tawanya dan orang-orang yang menemani Zhengdan berdiskusi pecah memenuhi
seluruh ruangan.
Bukan main perasaan
Nirina yang ingin bertemu Zhengdan kembali, tak sabar ia agar hari segera
berganti. Habis, tidak berhenti ia dibuatnya tertawa.
Waktu menunjukkan
pukul setengah dua. Masih ada dua setengah jam lagi sebelum batas waktu terakhir pengumpulan berkas beasiswa.
Mulai terbesit penyesalan di batin Nirina, “ah, masih ada dua setengah jam
lagi! Harusnya tadi nggak usah terlalu buru-buru pergi!” Tapi, buru-buru pula
ia menghilangkan kebiasaan menggerutu itu lagi. Tindakannya sudah tepat; lebih
cepat lebih baik. Lagipula, Zhengdan juga tidak dapat berlama-lama ngobrol.
Setelah sedikit
bertukar cerita dan pandangan dengannya, Zhengdan harus segera berpisah bangku
diskusi. Tiba-tiba dua orang datang menghampiri mereka dan meminta Zhengdan
untuk undur diri. Tidak banyak yang dapat dijelaskan, Zhengdan hanya
menyebutkan bahwa ia adalah mahasiswa asing Magister Humaniora di Universitas
Gajah Mada, dan sedang berpartisipasi dalam acara Konferensi Budaya Indonesia
di Universitas Indonesia selama masa liburan semester.
Kebanyakan waktu bicara
mereka dibabat habis oleh cerita gerutu Nirina tentang siang itu. Hanya
gara-gara pertanyaan polos yang dilontarkan Zhengdan, “Tadi kamu
memencet-mencet hidung, kenapa?”, Nirina jadi keasyikan curhat colongan.
Disamping penjelasan Nirina yang panjang, selebihnya mereka hanya tertawa
bersama. Ada saja hal lucu yang memberi mereka alasan untuk menertawai satu
sama lain.
Setelah Zhengdan
mempersilahkannya untuk memakai akses internetnya dan bergerak menuju kursi
diskusi seberang, Nirina pun sibuk dengan urusan beasiswanya. Tidak disangka,
belum ada lima belas menit semua berkas yang ia butuhkan sudah selesai diunduh
dan diisi lengkap. Mungkin masih lebih lama waktu yang ia pakai untuk berpikir
bagaimana mengembalikan peranti akses internet Zhengdan. Lebih tepatnya,
bagaimana cara mengembalikan dan berterima-kasih tanpa harus mengucapkan
selamat tinggal.
Beruntung,
Zhengdan segera peka melihat Nirina sudah berdiri tegap di seberang bibir meja
diskusinya dan teman-teman konferensinya. Ia segera mengayunkan tangan,
memintanya untuk menghampiri meja diskusinya.
“ Sudah selesai
pakai?”
“ Sudah! Xie-xie,
Zhengdan!” ucap Nirina lugas berterima-kasih dalam bahasa Mandarin.
“Whoa, bisa bahasa
Mandarin?” Zhengdan terkesan. Ia segera mengulurkan tangannya untuk menerima
kembali peranti akses internet miliknya. “Bisa tunggu sebentar? Kami segera
selesai.” ujarnya lagi. “Women keyi yiqi lianxi shuo, ni shuo hanyu, wo shuo
yinniyu.” lanjut Zhengdan, mengajak Nirina untuk berlatih berbicara bahasa
Mandarin bersama seusai ia berdiskusi.
“Maaf. Tapi,
beasiswa harus diajukan sebelum sore.”
Zhengdan
menyeringai, “ah! Beasiswa, saya lupa! Diserahkan sore ini?” Nirina mengangguk.
“Besok? Besok ke sini?”
“Besok? Besok ke sini?”
Beruntung, Nirina
pun tidak salah isyarat. Ia mengacungkan jempolnya dan memastikan bahwa besok
siang ia akan kembali bermain ke perpustakaan.
***
Liburan semester
sudah berakhir. Nirina agaknya merasa bosan melihat kampusnya lagi, atau mungkin
merasa sedih. Sepanjang sisa libur semester ia habiskan di sekitar kampus,
sehingga ia tidak ikut merasakan euforia lepas kangen seperti teman-temannya
kebanyakan. Selain itu, Zhengdan sudah kembali ke Jogjakarta.
Teriakan
teman-temannya bergema di setiap sudut fakultas. “Haaaaai, apa kabar? —Kangen—
Iya yah, kangen gue sama kampus ini!” Sapaan norak berseliweran
sana-sini memekakkan telinga orang lain, tak terkecuali Nirina yang kurang suka
kehebohan yang hiperbolik seperti itu. Hampir ia menyuruh teman-temannya untuk
bersikap sedikit lebih terkendali.
Ah, ya ampun
Nir! Jangan menggerutu lagi, please. Bayangkan kalau Zhengdan melihat suasana
ini, pasti dia berpendapat: ini moment berharga bersama teman, pemandangan
hangat bersama teman, atau sejenis hal yang bisa ditertawakan.
Nirina pun hanya
bisa ikhlas dipeluk erat teman-temannya dari segala sisi. Tak lupa juga ia
membalas kehebohan temannya, “Nirinaa jutek! Kangen!” – “Samaaa!!!”
“Serius? Tumben?”
Nirina hanya
tertawa, merasa lucu bahwa sekarang ia sudah cukup luwes menjadi orang
‘normal’. “Sama! Gue juga kangen sama diri gue yang juteeeek! Hahaha.” Ia cukup
puas melihat temannya melontarkan candaan lain yang lebih menyebalkan. Hal itu
membuatnya teringat saat perpisahan dengan Zhengdan di bandara.
“Nirinaa !
Jangan jutek lagiiii!” seru Zhengdan setengah teriak sambil memeluk Nirina
hangat. “Pastiii! Koko Zhengdan cepat lulus ya!”
“Nir! Selama libur
semester, lo jadi ajuin beasiswa ke Cina?” ujar salah satu temannya yang lain
penasaran. “Iya! Libur semester gue kenalan sama mahasiswa asing dari Taiwan,
dia lagi kuliah S2 di Jogja. Nah, selama libur semester kemaren itu, gue
dibantuin belajar bahasa Mandarin sama dia.” Selain itu, kita juga main
bareng; berkunjung ke museum-museum bersejarah di Jakarta, keliling mal-mal di
Depok, bersepeda sore keliling kampus, ketawa-ketawa—ah, rindunya!
“Asyik banget!” Memang!
Seandainya waktu bisa diputar mundur, ingin rasanya kembali menjalani hal-hal
menyenangkan bareng dia lagi!
“Orangnya
ganteng?” Nirina hanya tertawa mendengar pertanyaan konyol yang hampir serempak
dilontarkan teman-temannya. “Tinggi, putih, mancung, sipit. Menurut kalian, itu
ganteng nggak?” Kembali dengan serentak, teman-temannya merengek iri “
Aaaa-aaaah!” Tapi yang terpenting, Zhengdan orang yang baik hati. Dia juga
begitu mencintai kekayaan budaya Indonesia melebihi penduduk Indonesia itu
sendiri, contohnya aku, Nirina. Budinya begitu luhur, meskipun dia nggak bisa
basa-basi dan terlalu blak-blakan untuk ukuran orang Indonesia.
***
“ Aduh! Siang ini
dunia habis diguyur kuah bakso kali ya,
panas banget!”
“ Iya nih, mana
perpustakaan jauh banget lagi!”
“ Kalau memang rektorat menganggap mahasiswanya sebagai aset paling berharga dan perlu untuk
didukung dalam menuntut ilmu, harusnya sediakan bus khusus ke perpustakaan
dong!”
“Lihat deh, tuh di
depan. Ada pula panas terik begini, jalan kaki capek-capek, masih bisa bercanda ketawa-ketiwi!”
“ Pasti mahasiswa
baru deh! Norak.”
Nirina sontak
tertawa, tak putus dalam menit-menit berikutnya di sela-sela gerutuan
teman-temannya. “Ya ampun! Hahaha. Mendingan lihat ke langit deh! Kita tuh
beruntung, bisa kuliah di kampus ‘lebar’, selebar ini. Banyak ruangan
terbukanya, dan langit biru cerah di atas kelihatan jelas indahnya. Coba kalau
di kota-kota nan sumpek, contohnya: Jakarta, Taiwan! Mereka mana bisa nikmatin
pemandangan seindah ini. Lagipula di sekitar kita banyak pohon kok! Adeem...”
“ Nirina? Kenapa
tiba-tiba jadi kayak Mario Teguh gini deh?”
“Terserah deh!”
Nirina hanya terkekeh, sambil bersyukur dalam hati atas perubahan pandangannya terhadap kehidupan. “Tapi gue kasih tahu ya ke kalian, teman-temanku yang
baik hatinya: Jika jutek, maka tambah tua. Jika bersyukur, pikiran muda, wajah
awet muda!”
“Nirinaa ! Jangan
jutek lagiiii! Jika jutek, maka tambah tua. Jika bersyukur, pikiran muda, wajah
awet muda!”
“Eh, itu
peribahasa dari Taiwan?”
“Bukan! Seorang
nenek di Jawa pernah mengatakan itu. Sangat bagus. Cocok untuk Nirina.”
Ia berjalan santai
menuju perpustakaan bersama teman-temannya yang masih seru menghujaninya
pertanyaan. Hanya menyeringai kecil, ia menanggapi satu per satu pertanyaan teman-temannya yang begitu
menggelikan. Di tengah-tengah perjalanan itu, Nirina kembali menengok ke arah
langit sambil memanjatkan doa.
“Semoga anti lift perpustakaan gak mati, dan.. Semoga suatu saat nanti aku bisa ngobrol-ngobrol lagi dengan
koko Zhengdan, setidaknya sepuluh menit.. Amin”
No comments:
Tinggalkan jejak di rumah saya! ^_^