TBID !

Yyheeayyyy!
TBID a.k.a THE BOOK IS DONE!
Suer! TGIF bingits, alias Thank God It's Finished~
For I had waited to have this rare opportunity to waste my time on a book and then happened to truly finishing it, I can't do anything but showing off my suffocated ass to all of you that I-just-finished-a book-from-the-head-cover-to-the-last-page!!
E-hem. 

You did it really well, Nik. You completely make me proud of us! Thank you for your effort, on giving up your shiftlessness and that bad inconsistence tendency those past days so that we could finally read a book for real (again) after some couple of months being a potato book reader alias kentang alias kepalang tanggung.
Zip. Gue rasa sudah cukup selebrasinya,

Hai, para penikmat rumah online, selamat datang di rumah gue. 

Sori, buat pamer gak jelas gue tadi, wkwkwk. Gak penting banget memang, tapi.. ini karena gue sudah separah itu penurunan minat baca bukunya, makanya rada lebay. OK.
Kalau orang-orang yang bikin artikel tentang buku pada umumnya menulis resensi, kali ini yang kalian akan baca sedikit agak lumayan berbeda. Haha.
Gue terlalu malas menelurkan pemikiran gue sendiri, jadi di bawah ini gue cuma menyalin ulang (dengan penyuntingan tertentu dari gue, wkwkwk, suka2 gue yang punya rumah dong :P bleee) tulisan-tulisan dalam tiap chapter buku yang menurut gue menarik untuk disantap oleh kalian, para tamu; hadirin dan hadirot sekalian.


CHAPTER 1 Arah Angin ke Pelabuhan Kecil
--- Aku mencoba menyemangati diri sendiri biarpun sering tak berbuah hasil. (hlm. 8)
Nama pemeran utama dalam buku ini adalah si penulis aslinya, bernama Bayu Adi Persada.
Doi alumni TI ITB (Teknik Informatika, ITB {gak tau kepanjangan ITB? Klik disini!}) yang awalnya niat berkarir di perusahaan bagus tapi akhirnya gagal karena (menurut dia) kurang persiapan. Tapi, selama nunggu hasil interview kerja, kak Bayu juga mendaftarkan diri jadi pengajar muda di gerakan Indonesia Mengajar. Tidak dinyana, banyak juga pemuda Indonesia yang masih peduli pendidikan negaranya di daerah-daerah pelosok dan daftar Indonesia Mengajar itu, totalnya ada 1.383 pelamar! Siapa yang kagak jiper, kan? Kak Bayu jelas jiper, apalagi gak lama setelah daftar dia dapet pengumuman gak keterima kerja di perusahaan ‘impian’nya.
Di caption atas, kak Bayu ini masih sempet-sempetnya nyemangatin diri, untuk melakukan suatu hal besar, padahal dia baru aja ngerasain pahitnya kegagalan. Ibarat petani, dia baru gagal panen gandum buat bikin Koko Kranch, tapi langsung move on bikin peternakan sapi biar bisa produksi susu Denkau.

Itu semangat dapet dari mana? Dari... dirinya.... sendiri!!!!!

Iya. Dari dalam hati doi (yang sebenarnya udah rapuh itu), tetap (dipaksakan) lahir sebuah semangat juang untuk melakukan suatu hal sulit (yang sering kita temuin di balik gosok-berhadiah kemasan  minuman A(LE-AL)E dan bikin kesel mendidih), yaitu: COBA LAGI.

Intinya caption di atas memberi pelajaran untuk kaum yang semangatnya suka lapuk dimakan rayap kayak gue ini: Meski kegagalan terjadi, tetaplah MENCOBA LAGI, setidaknya COBALAH SEMANGATIN DIRI SENDIRI. (gak tau cara nyemangatin diri sendiri? Klik disini!)


--- Seakan Tuhan berkata, “Bayu, Aku pilihkan jalan ini untukmu.” (hlm. 8)
GOOD NEWS, GOOD PEOPLEEEEEE! Kak Bay dapet email langsung dari Pak Anies Baswedan kalau dia terpilih jadi Pengajar Muda! She-dhaap!
Pernah gak sih, lo punya pengalaman kayak kak Bayu gini? 
Gue kopas bagian ini karena gue bisa relate caption ini dengan diri gue pribadi. Kadang ketika gua plin-plan tentang mana yang terbaik, ada aja kejadian aneh-bin-ajaib-yang-tidak-mampu-dijelaskan-logika menggiring gue pada suatu hal yang di luar dugaan gue, dan itu seakan-akan adalah kerjaan Tuhan Yang Maha Seenak-Udel dan Maha Suka Intervensi supaya gue gak salah langkah.

Aih-aih. Mengharukan ya, dua cuplikan buku dari chapter pertama ini?




CHAPTER 2 Untuk Sebuah Kehormatan
--- “Indonesia, tanah airku. Tanah tumpah darahku...” Aku berusaha menahan haru. Aku amat yakin, kami berpisah untuk sesuatu yang amat mulia. Pengabdian. Atau, mengutip seniman besar Abah Iwan Abdulrachman, kehormatan. (hlm. 10-11)
SUEEEDAP! Pas baca bagian ini, gue sempet termangu loh, khususnya di bagian yang mengutip seorang seniman sekelas Abah Iwan (gak tau siapa beliau ? sama >///< dan, kamu gak tau juga karya seni dia apa aja? Klik disini!). Kak Bay berpisah dengan keluarga, teman-teman Pengajar Muda lain selama karantina, dan berpisah dengan kota tempat tinggalnya dengan tujuan mengabdi. Melakukan hal mulia dengan berbakti bagi pendidikan Indonesia yang digagas juga sebagai sebuah KEHORMATAN!!

Catatan buat gue: WOYYY, tuh Nik, ilmu lu masih cetek!
Kehormatan didapatkan gak cuma dari sikap menghormati orang lain pas interaksi doang, tapi juga dari sikap lu menghormati waktu, tenaga dan kepercayaan yang dikasih Tuhan (atau ortu, dosen, klien, dll)  alias mengabdi dalam mengemban amanah. TSAH.





CHAPTER 3 Keluarga Sarat Cerita

--- Mama Saida.... Seperti semua ibu di dunia, ia selalu sangat peduli dengan keluarganya. Mama memang tak berpendidikan tinggi, mungkin itu yang membuatnya tak begitu bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. (hlm. 21-22)
Gue mengutip ini, khusus untuk berbagi pemikirannya kak Bayu dengan tamu-tamu wanita yang sudah berani masuk rumah angker gue ini.
Jadi, girls...
Mama Saida ini ibu dari keluarga asuh kak Bayu yang menerima doi selama jadi Pengajar Muda di Halmahera. Mama Saida ini baik banget, membuat kak Bay kerasan dan merasa seperti anak kandung di rumah kedua itu. Sayangnya, anak-anak mama Saida ada yang hamil di luar nikah, ada juga yang menikah di bawah umur alias semacam kurang berpendidikan.
Gue menyimpulkan bahwa kak Bay berpesan pada kita para gadis: harus bisa jadi wanita yang GAK CUMA gampang baperan (sangking tingginya rasa simpati dan empati kita tuh, yoi mantap sister!) TAPI harus berpendidikan juga, agar kelak bisa jadi ibu yang hebat buat anak-anak (entah anak sendiri, atau bahkan anak tetangga juga kayaknya boleh deh, coba nanti tanya kak Bay dulu yak buat konfirmasi, wkwkwk).



CHAPTER 4 Hari Pertama
--- “Hai?  Halo!”......Anak-anak cukup terhibur dengan pemakaian dua kata itu. Aku berhasil “memegang” perhatian mereka. Tidak sesulit cara kepala sekolah atau guru lain yang mengatur murid dengan suara keras dan rotan. (hlm. 26)
Di chapter ini, kak Bay cerita tentang hari pertama doi mengajar di sekolah. Doi ngajar anak kelas 3 SD (kepo sama sekolahan tempatnya kak Bay ngajar? Klik disini!). Gue merasa senang saat baca bagian ini, kak Bay baru datang ke sekolah aja udah bisa bawa suasana baru yang menyenangkan. Jadi merinding optimis gitu (lebay mode ON)
Bawa suasana baru, transformasi yang baik.. keren yah? Tapi sometimes, bukan metodenya yg keren di atas rata-rata, tapi gimana kita merespon kondisi yang di atas rata-rata yang bisa bawa perubahan keren fantastis itu. Ada huru-hara anak sekolah, Kak Bay enggak respon dengan emosi kesel melainkan santuy. Ini patut ditiru, yah :)



CHAPTER 5 Cobaan Berwujud Kenakalan


--- Bagiku, ada cara lain selain memegang rotan: buat peraturan yang benar-benar dijalankan.....Untuk itu, aku dan anak-anak membuat poin-poin peraturan yang kami sepakati bersama. Contohnya, tak boleh ada yang mengangkat kaki di atas kursi atau meja. Tidak boleh ada yang makan di kelas. Keluar kelas harus minta izin.Yang aneh, ada alasan paling khas untuk keluar kelas di sini. Buang ludah. Entah, ludah orang Maluku banyak atau bagaimana, yang jelas hampir setiap anak di sini pernah minta izin buang ludah. (hlm. 29-30)
WAKAKAKAKAKAK. LO NGAKAK GAK? Gue ngakak banget baca ini, SUER! Karena gue merasa lucu dan asing aja dengan alasan izin ke luar kelas buat buang ludah gitu. ITU, GILA, OUT OF THE BOX atau BEYOND IMAGINATION lah alasannya.
Okeh, cukup.
Satu hal berfaedah yang ditulis kak Bay di chapter ini adalah DIA GAK MAKE CARA LAMA BUAT DAPETIN HASIL YANG BERBEDA. Selama make rotan buat mendisiplinkan murid, kenakalan yang semacam nyelonong keluar kelas buat buang ludah tetap ada. Jadi, kalau pake kekerasan udah jelas nggak berhasil, jelas harus pake cara lain, dan kak Bay memberi contoh konkret ke kita untuk hal ini.




CHAPTER 6 Wajah Suram Pendidikan
--- “Free education is a national liberty.” begitu katanya ...
Sekolah di sini seperti kebanyakan SD negeri lain di Indonesia, memang gratis. Anak-anak tinggal membawa diri ke sekolah. .... Bagi kebanyakan orang di sini, pendidikan hanya sebatas membaca dan menulis. Ilmu pengetahuan itu urusan nanti, yang penting anak bisa bantu orangtua dengan dua kemampuan itu.... Kebanyakan orangtua siswa bekerja di kebun, nelayan atau tukang kayu. Kalau mereka butuh anak-anak untuk membantu berkebun atau melaut, anak-anak tersebut terpaksa tidak sekolah. Judul besarnya, membantu orang tua. Judul kecilnya, merampas pendidikan anak. 
Pendidikan anak dibebankan pada sekolah saja.....Gratis tidak berarti berkualitas dan kadang kala kualitas sangat berkaitan dengan uang. Pendidikan mahal menjadikannya eksklusif hanya untuk sebagian orang yang mampu. Gratis sering disalahartikan dengan seadanya. Karena tak bayar, ya, jangan terlalu berharap. Ah, seram juga kalau kondisi seperti ini berlangsung terus-menerus. (hlm. 33-37)
Sudah belum, membacanya? Nah, itu tadi sisi gelap pendidikan di Indonesia yang nyata adanya. Ah, miris yak. :(

Eh, ngomong-ngomong tentang gratis, gue mau berbagi sedikit. Dulu gue pernah naif, (sekarang mungkin masih ? ) saat itu gue beberapa kali menolong orang secara cuma-cuma tapi melakukannya dengan maksimal. Akhir-akhir ini gue mengalami entah kemajuan atau kemunduran, yang pasti gue mengalami perubahan. Ketika kakak sepupu gue minta tolong terjemahin abstrak jurnal kuliahnya ke bahasa Inggris, gue mengerjakan dengan sekelibat pikiran seperti ini: “!aj8gila, susah banget, mana gua ngerti bahasa Inggris di bidang penelitian berat begini.. gue skip yang kalimat ini ah, toh gua bantu gratis kan, gak usah gimana-gimana deh.” Padahal gue yang orangnya agak perfeksionis ini punya standar prosedur: kerjakan, dalami, sempurnakan. Tapi karena mbantuin sodara, gue merasa gak perlu untuk mengikuti prosedur terbaik gue dan saat ini, gue, merasa, sangat, payah.. hhhhh. Otak gue mulai dirusak materialisme, nih.



CHAPTER 7 Munarsi
--- Aku mengandalkan anak ini, mungkin 15 atau 20 tahun ke depan, untuk mengabari, "Pak Guru, saya sudah lulus doktor!" atau "Pak, saya mendapat beasiswa ke Amerika."
Kak Bay memang sayang semua muridnya, tapi ada seorang murid yang menarik hatinya dan bikin doi mengistimewakan dia, yaitu Munarsi. Munarsi dipercaya kak Bay sebagai anak yg punya potensi besar. Cepat memahami sesuatu adalah talenta yg ga bisa disia-siain kak Bay dari anak berbakat ini. Jadi, kak Bay memilih Munarsi dalam hatinya sebagai target pengembangan khusus doi.

Gue sendiri punya seorang junior yang dari awal perkuliahan selalu gue monitor. Namanya Cacha, anaknya ulet banget dan gampang dimotivasi. Gara2 baca kisahnya kak Bay ini, gue terinspirasi untuk lebih niat dan tekun ngebimbing Cacha dan menjadikan dia "objek pengembangan" jangka panjang juga. Gua juga pengen liat Cacha jadi orang sukses di masa depan.
Ah, semoga...
impian gua ini membatu dan kepala gue bisa terus ngotot buat mewujudkan ini. Gak kebayang, Munarsi beneran jadi doktor dibina kak Bay, sedangkan gue masih terus ber-angan2 bisa jadi orang berguna seperti kak Bay.


CHAPTER 8 Beli dan baca sendiri 

Sampai sini aja yah... Kalo semuanya diceritain di sini, gak enak sama penulis. Kamu beli aja bukunya, terus baca sendiri? Nama buku nya: "ANAK-ANAK ANGIN". Buku inspiratif ini dipublish Plotpoint di Mei 2013, review nya bisa diliat di sini.
Anyway, maaf ya tamu-tamuku jika terlalu banyak clickbait di artikel ini hahaha, ini bentuk support saya yang terlalu pengen manjain tamunya. Bisa juga karena lagi kebanyakan energi sih, hehe.

Zip. Semoga kita bisa terus baca buku dengan perasaan senang yah, dan berkontribusi untuk ningkatin angka minat baca orang Indonesia tentunya.
Hidupp membacaaaaa~!!

No comments:

Tinggalkan jejak di rumah saya! ^_^

Powered by Blogger.