Kembang Api Pak Semprul

Ini cerita tentang rumah, lingkungan rumah, kembang api, tetangga dan sampah. Tulisanku ini agak sampah, tapi ada baiknya dibaca dulu. Awalnya, ini tentang rumah.

Rumahku berada di daerah perkampungan kumuh di bilangan Tangerang.
Di depan rumahku terdapat lahan kosong tempat para tetangga mengolah rezeki yang sudah mereka kumpulkan seharian. Mereka-- tetangga yang membangun rumahnya di pinggir lahan kosong itu, mayoritas berprofesi sebagai pemulung.

Aku sempat hapal jadwal kerja dan rutenya; pagi-pagi sekali pukul lima mereka pergi bekerja, menyusuri kompleks perumahan sebelah lalu kemudian melanglang-buana agak jauh dari area domisili menuju kelurahan tetangga, setelah terik mentari mulai berbaik hati mereka kembali ke rumah. Aku mengingatnya, sebab saat kecil dulu aku berteman baik dengan anak-anak mereka yang sekarang sudah beranjak remaja layaknya aku dan adik-adikku. Sudah belasan tahun kesibukan memulung sampah dan pengolahan barang-barang bekas menghiasi kehidupan sosial lingkungan rumah.

Sampai akhirnya, aku tersadar.

Sudah lama sekali rasanya aku tidak bermain ke rumah mereka. Bersilaturahmi, atau sekedar melongok ke dalam tiap-tiap benteng rumah mereka yang kecil. Dulu, aku berseliweran kesana kemari; dari satu rumah teleportasi ke rumah lain. Sekadar main. Numpang nonton TV (karena memang nonton TV bareng di rumah tetangga beganti-gantian entah kenapa lebih asyik), main kartu lalu tepokan atau judi-judian, atau main rumah-rumahan. Dulu. Wah, mungkin terakhir kali pada delapan tahun yang lalu.

Sudah lama sekali rasanya, sejak terakhir kali memperhatikan orang-orang di lingkunganku. Mereka yang tumbuh dan berkembang di satu area yang sama denganku, juga keluargaku, kini yang remaja bahkan sudah punya anak; para bapak menua, tak ayalnya para ibunda.

Malam ini, para tetanggaku itu merayakan hari raya Idul Fitri seperti umat Muslim lainnya di seluruh penjuru Bumi. Mereka berada di kediaman masing-masing, mungkin sedang asyik bercengkrama atau diskusi tentang acara esok hari.

Beberapa jam yang lalu; tepatnya pukul sepuluh, aku melongok keluar jendela rumah, mempersilahkan angin sejuk bermain dengan pori-pori wajah. Merasa tak adil, aku pun keluar, lalu nongki-nongki di depan pagar, supaya tubuhku yang minta dibelai angin terpuaskan hasratnya. Sepi. Orang-orang yang biasanya sibuk menyusun sampah sambil menyalakan radio dangdut pasti sedang bercanda-mesra dengan anak istri.

Tak kusangka, di tengah riuhnya kumandang syahdu ayat-ayat suci Al-Quran yang diberitakan mealui pengeras suara masjid dan mushola sekitar rumah, pak Semprul muncul dari ujung jalan.

Setelah jarak kami lumayan dekat, aku menyapanya dengan suara lantang: "Bang Semprul! Ebuseh.. Dari mana bang?"

Dia hanya cekikikan.

Bibirnya tebal, dan senyumnya lebar. Bajunya yang lusuh tak lantas membuatku buta untuk melihat keindahan senyum tetanggaku itu. Beliau sudah cukup tua, aku tak pernah tahu berapa usianya. Mungkin belasan tahun lebih tua dari ayahku, 57? Ah, Nika! Memang benar-benar mahasiswi individualis; jiwa sosialmu mudah ditelisik: hasilnya nihil, Nik!

Dia menjawab, masih sambil memanggul karung berisi gelas-gelas plastik air mineral; sampah domestik masyarakat hasil pemulungannya: "Biasaa!"

Masih dengan senyum lebar dan semangat yang tetap terlihat dari jingkrak kakinya yang tak bersendal-sepatu, ia berjalan mendekat.

Aku pun mencoba membahas malam ini, siapa tahu dia lupa bahwa bulan Ramadan resmi selesai, saatnya bermalam-takbiran. "Et dah bang, orang mah pada di rumah, di masjid. Pada takbiran. Inih, malah kerja bae!"

Dia pun sampai di depan wajahku, "Lah, ya kan malam takbiran bisa dimana bae."
Ia menunjukkan giginya lalu melanjutkan, "malem takbiran; sambil kerja sambil maen noh ke "depan". Liat yang rame-rame. Emang situ, sendirian! Wkwkwk,"

Aku bingung mau menanggapi apa, hanya bisa tertawa.
Sebenarnya tertarik untuk ngobrol banyak, tapi dia sudah buru-buru berlalu. Padahal aku penasaran dengan karung besar yang dibawanya itu, kok banyak sekali sampah yang bisa dikumpulkan; dan dari "depan" alias pasar jajan, wah malam ini masyarakat pada nyampah kah?

Asumsiku memang asal. Tapi hal itu menyadarkan; bahwa kegiatan bang Semprul jelas lebih mulia dibanding sekadar hang-out keluar, rame-rame gak karuan.

Aku lantas penasaran, apa saja seharusnya kegiatan umat Muslim kala menyambut hari Lebaran? Kupikir mungkin pada umumnya sama denganku ketika malam natal; berkumpul dengan keluarga, menyatukan pikiran dan hati atau membahas rencana pergi-pergi. Hanya, uniknya, banyak yang stay di mushola dan melayani masyarakat sekitar dengan melantunkan kumandang ayat yang mirip dengan Adzan. Anehnya, banyak juga kulihat teman-temanku yang pergi ke luar rumah mencari suasana asyik atau ngopi-ngopi; cari pasar jajan atau gerombolan organizer wahana komedi. Ah, entahlah.

Beberapa saat kemudian, yang lain-lainpun berpulangan; maksudku para bapak, tetanggaku.

Satu per satu pulang, satu per satu kusapa dan alhasil rata-rata ujungnya mengajakku bersenda-gurau.

Iz! Iz!

Mereka bekerja. Di malam takbiran yang adanya hanya sekali setahun, yang diperlakukan begitu spesial; yang akan kuperlakukan spesial jika aku seorang Muslim, mereka memulung. Membawa hasil yang banyak, pula!

Aku tidak tahu inti pikiranku apa; hanya jadi terbayang jika berada di posisi mereka. Seandainya aku masih harus memulung di malam takbiran, mungkin aku akan berangkat mengais rizki dengan langkah kaki nan gontai. Belum lagi, mereka hanya memakai setelan kerja biasa; kaos lusuh, celana pendek, topi. Duh. Aku sih akan rempong-ria; kaos dalam, kaos, kemeja, jaket, celana panjang, syal, sorban, topi kupluk, sarung tangan! Bila perlu pulas Tolak Angin ke seluruh permukaan kulit, biar anti angin malam!
Tapi di satu sisi, pergi memulung ibarat Kopi Kapal Api: "jelas lebih enak". Biarpun malam begitu dingin, sampah berserakan itu tetap harus dicantol pake hati! Buat anak istri.
Mirisnya, di balik rezeki yang mereka kumpulkan sedemikian banyak, ada hal yang tak kumengerti. Asal sampah ini! Menimbulkan kerancuan akan budaya masyarakat umumnya; main keluar dan nyampah di sekitar lingkungan ramai pada malam takbiran. Ah. Sebenarnya, risih kusebut itu budaya. Harusnya, ada tradisi khas Muslim Indonesia yang lebih patut disebut budaya. Tapi apa, ya?

Lanjut lah!

Masih dengan kerancuan konstruksi berpikirku ini, aku terdorong untuk bercerita kegiatan mereka selanjutnya.

Setelah empat kepala keluarga tadi--- dan aku, pulang menuju rumah masing-masing di waktu yang berlainan, mereka kemudian berkumpul di lahan "ngolah sampah". Berbondong-bondong mereka keluar dari rumah setelah belasan menit berselang. Aku memperhatikan dari balik jendela kamar bapak, di lantai dua.
Tadinya aku mengantuk, lantas rebahan di kamar orangtuaku yang jendelanya besar-besar. Tapi akhirnya sekarang aku begadang. Suara kembang api membuatku terkejut dan membuyarkan niatan tidur. Kupikir, telat banget--- tapi, belum sempat selesai komentar untuk kembang api kesiangan itu, aku segera terkesiap menangkap suara riuhnya. YIHA, kembang apinya berada tepat di atas atap rumahku! Di situlah aku melongok keluar jendela kamar, melihat tetangga-tetangga ku; para bapak pekerja keras tadi beserta anak istri bermunculan dan kemudian berkumpul bersama.

Begitu bunyi letupan kembang api selanjutnya terdengar, aku sontak ikut bergumam lantang "Wuaaaaah!", mengapresiasi keindahan cahaya kembang-kembang yang berpendar di bawah awan. Mereka mendengar suaraku, kemudian menyapaku dan menyuruhku untuk turun dan turut bergabung bersama. Tentu aku menolak dengan sopan dan akhirnya merasa tak enak karena yakin ajakan mereka bukan basa-basi buatan. Sekitar empat lima ronde, kembang api diluncurkan. Tidak hanya anak-anak yang masih kecil, para ibupun ikut bertepuk tangan setelah kembang api di tangan pak Semprul habis terbakar. Hahaha. Kalau dipikir-pikir, tetangga-tetanggaku memang agak keterlaluan polos. Aku hanya tertawa kecil melihat "kenorakan" mereka yang lucu.

Intinya apa?

Ah, ntahlah. Aku begitu tersentuh melihat pemandangan itu.
Kompak sekali, mereka. Mereka membuatku percaya, masih ada jiwa gotong royong di Indonesia. Apalagi para bapak, bikin merinding; setelah pulang kerja, menyiapkan perayaan kembang api buat keluarganya. Sebelumnya, gak pernah gini kok. Hm, evolusi, eurekkaa jangan? Wkwk.

Terpercik rasa rindu akan masa kecilku. Mulai tergelitik rasa di jiwa ku untuk lagi, menjalin tali silaturahmi yang baik dengan mereka. Mereka orang-orang baik. Polos. Memang ada sedeng-sedengnya, sih (nanti pasti kuceritakan). Tapi, pada akhirnya aku banyak belajar dari mereka.
Bukan pelajaran-pelajaran kode etik. Bukan hal kompleks dan pelik. Atau kutipan kehidupan yang dikemas bahasa-bahasa rumit. Hanya pelajaran kehidupan biasa, yang jika dibicarakan sering terkesan klise. Namun, tatkala menyapa secara pribadi, pelajaran itu menjelma menjadi sebuah inspirasi.

Aku masih mempertanyakan apa itu hari raya, apakah memang tidak bisa dibuat pakemnya, dan memang tidak akan bisa dijalani dengan standar bahagia yang sama? Tapi, biarin. Toh, hari raya ditetapkan jadi hari libur. Dikhususkan sebagai sebuah alokasi waktu yang lebih berpeluang buat bersenda-gurau, berinteraksi, bercanda-mesra dengan sesama. Intinya, tinggal dimanfaatkan saja.
Tidak usah ditimbang-timbang apalagi dimusuhi, seperti: "I don't celebrate this, or that. Or, why everyone celebrates this or be happy just on that day?"

Udehsih, enjoy ae!

AH! Tiba-tiba terbersit tanda tanyaku akan masa depan mereka. Sebelumnya mereka tidak pernah membeli kembang api, apalagi sampai dipasang berkali-kali.
Akankah di Lebaran lain kali mereka pulang kampung?
Tahun depan kah? Dua tahun lagi kah?
Hahaha, dari dulu mereka nggak pernah mudik ke desa. Mudah-mudahan tercapai di hari raya selanjutnya. Ah, Tuhan, Kau Maha Adil, berikanlah senantiasa kebahagiaan-kebahagiaan yang memang layak mereka dapatkan. Dan untuk mudik lebaran, kurasa, they deserved it kok, God!

Alamak!

LUPA! Mereka orang Betawi asli. Kampungnya disini. Pantesan!

Nah, besok saatnya kita berkunjung ke rumah mereka.
Sederhana. Siapkan pakaian yang sopan; usahakan warna putih, lalu jalan kaki, ketok pintu, sapa, senyum, ulurkan tangan, berjabatan lalu ucapkan "Minal Aidzin, mpok! Minal Aidzin, bang! Ciee.. pada lebaran. Mana nih opornya,"
Gampang kan?
Nanti kalo ditawarin beneran, tinggal bilang, "kagaaaaa.. Bercanda kok!" Padahal, pengeeen.

:P

Minal Aidzin semua, khususnya tetangga-tetanggaku (yang tak mungkin buka blogger wkwk)! Mohon maaf lahir dan batin, maaf-maaf tulisannya menyiksa batin! Happy Ied Mubarak (kesekian-sekian)!


No comments:

Tinggalkan jejak di rumah saya! ^_^

Powered by Blogger.